BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Gerakan
reformasi di Indonesia telah membawa dampak yang luas di berbagai bidang
kehidupan baik ekonomi, sosial budaya, politik maupun hukum. Salah satu bentuk
perubahan yang cukup mendasar adalah mulai ditanggapinya berbagai tuntutan
masyarakat oleh pemerintah, termasuk tuntutan daerah yang selama ini
terkooptasi oleh pemerintah pusat. Bentuk tanggapan (respons) dari pemerintah
tersebut seperti tercermin dalam bentuk reformasi hubungan dan perimbangan
keuangan pusat dan daerah, yang merupakan esensi dari otonomi daerah.
Semangat
reformasi dengan segala bentuk implikasinya, telah membawa kita kepada sebuah
wacana harapan, yakni sistem negara dan pemerintahan yang lebih demokrasi dan
transparan serta akuntabel di masa akan datang. Walaupun hal ini nampaknya masih
hanya merupakan sebatas harapan bagi masyarakat di daerah, namun bukan berarti
bahwa harapan tersebut tidak dapat direalisasikan, dan hal itu merupakan suatu
tantangan yang perlu segera ditindaklanjuti oleh bangsa Indonesia, terutama
dalam kerangka pelaksanaan otonomi daerah.
Untuk menindaklanjuti harapan masyarakat tersebut, maka
perlu terus-menerus memacu pembangunan di segala bidang. Dimana pembangunan
merupakan rangkaian kegiatan yang dinamis dalam upaya melakukan perubahan,
pembaharuan, pertumbuhan dan pemerataan hasil-hasilnya untuk menciptakan
keadilan dan kemakmuran, serta meningkatkan taraf hidup masyarakat. Pemikiran
yang terkandung dalam makna pembangunan ini adalah bahwa pembangunan itu
bertujuan untuk meningkatkat harkat dan martabat masyarakat secara menyeluruh.
Dalam upaya mewujudkan tujuan pembangunan tersebut, maka
konsekwensinya pembangunan daerah sebagai integritas pembangunan nasional
mutlak harus dilaksanakan berdasarkan rencana yang ditetapkan, baik dalam
bentuk rencana jangka pendek maupun jangka panjang. Meskipun dalam pelaksanaan
pembangunan tersebut hanya dapat tercapai bilamana terjaling hubungan kerjasama
yang baik antara semua komponen pelaksana pembangunan di daerah, terutama
hubungan kerja sama antara pihak legislatif dan eksekutif.
Perubahan
paradigma pemerintahan saat ini yang ditandai dengan lahirnya UU Nomor 22 Tahun
1999 yang kemudian diperbaharui dengan UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan
Antara Pemerintah Pusat dan Daerah, dimana pemerintah pusat mencoba meletakan
kembali arti penting otonomi daerah pada posisi yang sebenarnya, yaitu bahwa
otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Kewenangan daerah tersebut mencakup seluruh bidang pemerintahan, kecuali
kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan,
moneter dan fiskal, agama serta kewenangan bidang lain.
Pelaksanaan
otonomi daerah sesuai UU Nomor 22 tahun 1999 yang diperbaharui dengan UU Nomor
32 Tahun 2009 tentang Pemerintahan Daerah, telah merubah sistem penyelenggaraan
pemerintahan daerah dari sentralistik menjadi desentralistik. Dalam hal ini
desentralisasi tidaklah sekedar merupakan pemindahan kewenangan administrasi
atau kekuasaan dari pusat ke daerah, namun juga terkandung suatu keinginan
untuk memberdayakan institusi-institusi lokal dan sistem sosial yang hidup
dalam masyarakat yang senantiasa masih terabaikan dalam bentuk-bentuk
pengelolaan pemerintahan dan pembangunan yang bersifat sentralistik.
Penyelenggaraan otonomi daerah sebagai
konsekwensi dari desentralisasi, selain merupakan manifestasi amanat
konstitusi, juga dimaksudkan untuk memenuhi tuntutan rakyat serta efisiensi dan
efektifitas pelaksanaan pembangunan daerah dalam kerangka negara kesatuan. Arus
reformasi yang dilaksanakan pemerintah saat ini dan terlebih lagi suasana
globalisasi yang menyentuh seluruh aspek kehidupan masyarakat sampai ke wilayah
pedesaan menjadikan pemberian otonomi kepada daerah guna memberdayakan rakyat
di daerah semakin penting.
Sehubungan
dengan itu menurut Ryaas Rasyid (1999) dalam kaitannya dengan pelaksanaan
otonomi daerah, bahwa pemerintah daerah minimal harus memiliki lima kemampuan
dasar, yaitu :
1.
Kemampuan untuk mengatur otonomi secara optimal tanpa
intervensi pemerintah pusat (self
regulating power)
2.
Kemampuan untuk melakukan terobosan-terobosan perubahan
yang inovatif kearah kemajuan, khususnya dalam mengembangkan potensi wilayahnya
(self modifying power)
3.
Kemampuan dalam penyelenggaraan pemerintah daerah yang
diharapkan mempunyai legitimasi kuat dari masyarakatnya baik pada posisi kepala
daerah sebagai unsur eksekutif maupun DPRD sebagai legislatif (Local Political Support).
4.
Kemampuan sumber-sumber keuangan yang memadai guna
membiayai pelaksanaan pembangunan dan kemasyarakatan yang secara riil merupakan
kebutuhannya (Financial resources).
5.
Kemampuan untuk dapat menjalankan pemerintahan dan
pembangunan yang didukung ketersediaan sumberdaya manusia baik tingkat aparatur
pemerintah maupun masyarakatnya (Brain
power).
Berdasarkan pada uraian di atas, maka dengan
diberlakukannya otonomi daerah tersebut disatu sisi merupakan peluang yang
harus dimanfaatkan oleh daerah dalam memajukan pembangunan wilayahnya dan
disisi lain merupakan tantangan bagi unsur-unsur pelaksana pemerintahan dan
pembangunan di daerah, dimana titik sentral dari penyelenggaraan otonomi daerah
adalah terletak pada kemampuan sumberdaya manusia unsur-unsur pelaksana
pemerintahan dan pembangunan yang ada di daerah.
Salah
satu upaya untuk mewujudkan tujuan pembangunan dan pemerintahan dalam kerangka
pelaksanaan otonomi daerah adalah meningkatkan kemampuan profesionalisme
sumberdaya manusia dan kinerja lembaga, termasuk kinerja lembaga legislative
(DPRD). Dimana DPRD merupakan salah satu lembaga perwakilan rakyat yang menjadi
mitra eksekutif dalam melaksanakan kebijakan-kebijakan pemerintahan,
kemasyarakatan dan pembangunan. Oleh karena itu, keberhasilan kebijakan
pembangunan di daerah sangat ditentukan oleh peran aktif dan efektif oleh DPRD
dalam melaksanakan fungsinya, terutama pengawasan pelaksanaan
kebijakan-kebijakan pembangunan yang menyangkut pemenuhan kebutuhan masyarakat.
Penomena
terhadap pelaksanaan kebijakan pembangunan di daerah seringkali tidak sesuai
dengan aspirasi masyarakat, dimana DPRD sebagai lembaga perwakilan rakyat yang
diharapkan dapat menyerap aspirasi masyarakat untuk diakomodir dalam perumusan
kebijakan pembangunan dapat dikatakan berlum berjalan secara optimal.
Sebagaimana disebutkan pada pasal 45 point (e) UU No. 32 Tahun 2009 Tentang
Pemerintahan Daerah bahwa salah satu kewajiban anggota DPRD adalah menyerap,
menampung, menghimpun, dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat.
Sejalan dengan uraian di atas, maka Badan Anggaran DPRD Kabupaten Fak-Fak,
seperti halnya dengan DPRD Kota lainnya, di era reformasi ini menempati
kedudukan yang sangat strategis. Dengan kata lain, terselenggaranya demokrasi
serta pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan yang bersih dari kolusi, korupsi
dan nepotisme di Kabupaten Fak-Fak sangat tergantung pada kemampuan kinerja Badan Anggaran DPRD Kabupaten Fak-Fak
dalam mengartikulasi, mengagregasi dan mengakumulasi aspirasi masyarakat, yang
tercakup dalam pelaksanaan fungsi Badan Anggaran DPRD Kabupaten Fak-Fak.
Badan
Anggaran DPRD Kabupaten
Fak-Fak merupakan Tim Anggaran Legislatif di DPRD Kabupaten Fak-Fak, erat kaitannya
dengan kemampuan kinerja Badan ANGGARAN DPRD Kabupaten
Fak-Fak dalam menjalankan fungsinya dan berperan sebagai Tim Anggaran
Legislatif.
Dalam hal ini kemampuan Badan Anggaran DPRD Kabupaten Fak-Fak untuk mengenal dan memahami
kondisi masyarakat, mengakomodir, merumuskan aspirasi masyarakat dalam wujud
Peraturan Pemerintah Daerah (PERDA) tentang Anggaran Daerah, merupakan tugas utama Badan ANGGARAN DPRD Kabupaten Fak-Fak.
Oleh karena itu, Badan Anggaran DPRD Kabupaten Fak-Fak wajib meningkatkan kemampuan dan
kualitas kinerja anggotanya agar dapat melaksanakan fungsi dan tugas-tugas yang
diemban, terutama dalam pembahasan anggaran terhadap pelaksanaan pemerintahan dan
pembangunan di Kabupaten Fak-Fak.
Pengukuran
keberhasilan maupun kegagalan dari instansi pemerintah termasuk pada lembaga
legislatif daerah (DPRD) khususnya Badan Anggaran DPRD Kabupaten Fak-Fak dalam
melaksanakan kewajibannya nampak masih sulit dilakukan secara obyektif. Dimana
pengukuran kinerja Badan Anggaran (DPRD) Kabupaten Fak-Fak hanya lebih ditekankan
kepada kemampuan dalam memahami penyerapan anggaran atau mengerjakan
tugas-tugas pokok yang telah digariskan. Sedangkan suatu lembaga legislatif
(DPRD) utamanya anggota dewan yang duduk pada Badan atau komisi dapat dikatakan
berhasil melaksanakan kewajibannya apabila salah satunya dapat menyerap seluruh
aspirasi masyarakat. Dengan demikian untuk mengetahui tingkat keberhasilan atau
kinerja Badan Anggaran DPRD Kabupaten Fak-Fak dalam menjalankan fungsinya, maka
seluruh badan anggaran tersebut harus
dapat diukur, termasuk jumlah Perda yang dihasilkan yang sesuai dengan aspirasi
masyarakat.
Pada
kenyataannya pelaksanaan akuntabilitas kinerja badan anggaran DPRD Kabupaten
Fak-Fak nampak belum dilaksanakan secara cermat dan optimal. Hal ini didasarkan
pada alasan, bahwa pelaksanaan otonomi daerah menuntut setiap daerah untuk
mampu menyelenggarakan pemerintahannya sendiri termasuk penyediaan
sumber-sumber keuangan daerah, sehingga lembaga legislatif bersama-sama dengan
eksekutif diharapkan mampu menciptakan berbagai produk peraturan daerah (Perda)
yang dapat menjadi dasar dalam penyelenggaraan kegiatan pemerintahan,
pembangunan dan kemasyarakatan dan tuntutan pemenuhan kebutuhan masyarakat.
Dengan demikian intensitas kerja anggota DPRD Kabupaten Fak-Fak juga akan
semakin meningkat.
Berdasarkan
dari uraian di atas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian yang
mengkaji tentang kinerja badan anggaran DPRD Kabupaten Fakfak dalam
menjalankan fungsinya,
sesuai dengan judul penelitian yang diajukan dalam rangka penulisan tesis ini.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang pemikiran yang
telah dikemukakan di atas, maka permasalahan pokok penelitian ini dapat
dirumuskan sebagai berikut :
1.
Bagaimana kinerja Badan Anggaran DPRD Kabupaten Fak-Fak
dalam menjalankan anggaran yang dapat mengakomodir aspirasi rakyat ?
2.
Faktor-faktor apa yang menjadi kendala dalam upaya
peningkatan kinerja Badan Anggaran DPRD Kabupaten Fak-Fak sesuai dengan
pelaksanaan fungsinya?
C. Tujuan Penelitian
Bertitik tolak dari rumusan
masalah di atas, maka tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut :
1. Untuk
menganalisis dan mendeskripsikan kinerja Badan Anggaran DPRD Kabupaten Fak-Fak
dalam menjalankan fungsinya, yakni fungsi anggaran
yang dapat mengakomodir aspirasi rakyat.
2. Untuk
menganalisis dan mengetahui faktor-faktor yang menjadi kendala dalam upaya
peningkatan kinerja Badan Anggaran DPRD Kabupaten Fak-Fak sesuai dengan
pelaksanaan fungsinya.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan
dapat dicapai dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Sebagai bahan masukan dan
informasi bagi pihak-pihak yang mengelola sumber daya manusia aparatur untuk
pengembangan sumber daya manusia aparatur pada lembaga legislatif Kabupaten
Fak-Fak.
2. Sebagai bahan acuan dalam
merumuskan berbagai kebijaksanaan pengembangan dan peningkatan kinerja Badan
Anggaran DPRD Kabupaten Fak-Fak, baik dalam bentuk pendidikan dan pelatihan
pendidikan penjenjangan.
3. Sebagai bahan yang aktual untuk
menyusun program-program strategis dalam pengembangan sumber daya manusia
angota dewan DPRD Kabupaten Fak-Fak agar dapat meningkatkan kinerja badan
anggaran DPRD Kabupaten Fak-Fak.
4. Untuk memperkaya khasanah ilmu
pengetahuan di bidang peningkatan kinerja aparatur dan sekaligus bahan
referensi ilmiah serta alat pembanding untuk penelitian yang relevansinya sama
pada masa datang.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.
Konsep Kinerja
Secara terminologis istilah kinerja merupakan terjemahan dari performance.
Dimana istilah kinerja berasal dari kata “kinetika” yang berarti kemampuan atau
prestasi kerja. Sedangkan Sujarto (1993:84) mengemukakan bahwa kinerja adalah
kapasitas kerja. Beberapa pandangan yang mengemukakan bahwa kinerja atau performance
dapat mempunyai arti yang beragam tergantung kepada sudut pandangan terhadap
apa yang akan diamati. Secara
etimologis kinerja dapat diartikan sebagai the act or process of performing,
yaitu suatu penampilan kerja atau proses keberadaan (Webster Dictionary, 1990 :
73). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kinerja adalah suatu kapasitas kerja
yang efektif dari suatu perangkat organisasi.
Dari pengertian kinerja di atas,
maka dapat dikatakan bahwa kinerja adalah gambaran mengenai tingkat pencapaian
pelaksanaan suatu kegiatan, program, kebijaksanaan dalam mewujudkan sasaran,
tujuan visi dan misi suatu organisasi. Dalam hal ini, ada tiga aspek yang perlu
dipahami oleh pengelola dalam suatu unit kerja atau organisasi, yaitu :
1.
Kejelasan
tugas atau pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya;
2.
Kejelasan
hasil yang diharapkan dari suatu pekerjaan atau fungsi; dan
3.
Waktu
yang diperlukan dalam menyelesaikan suatu pekerjaan agar hasil yang diharapkan
dapat terwujud.
Menurut Benardin (1993) bahwa performance diartikan sebagai : The record of outcomes produced on a
specified job function or activity during a specified time period (catatan
tentang hasil yang telah diperoleh dari pekerjaan atau kegiatan tertentu selama
kurun waktu tertentu). Pendapat tersebut didukung oleh Rucky, (2001), bahwa
kinerja dapat diartikan sebagai upaya, kegiatan atau program yang diprakarsai
oleh suatu organisasi guna merencanakan, mengarahkan dan mengendalikan prestasi
kerja pegawainya. Sedangkan manajemen kinerja dikembangkan untuk tujuan-tujuan
sebagai berikut :
a.
Meningkatkan prestasi kerja individu, kelompok dan
organisasi, karena sasaran kerja dan standar prestasi yang harus dicapai
ditetapkan bersama dan hasil yang dicapai dinilai secara obyektif dan imbalan
dikaitkan dengan basil kerja;
b.
Memberi kesempatan kepada pegawai untuk menyampaikan
umpan balik kepada organisasi;
c.
Mendorong minat untuk mengembangkan diri, karena pegawai
melihat keterkaitan antara prestasi yang dicapai dengan imbalan dan penghargaan
yang diterima;
d.
Membantu organisasi dalam menyusun program pengembangan
kemampuan pegawai, karena dengan menerapkan manajemen berbasis kinerja,
diketahui jenisjenis pelatihan apa saja yang diperlukan masing-masing pegawai
agar mampu mencapai standar prestasi yang diinginkan;
e.
Menyediakan alat bagi penilaian prestasi secara obyektif
dan memungkinkan organisasi menerapkan sistem merit dalam pemberian imbalan
atau konpensasi karena prestasi kerja pegawai dapat diukur dengan lebih
obyektif.
Berdasarkan uraian di atas, maka konsep kinerja dapat
diartikan sebagai suatu hasil kerja atau kemampuan kerja yang ditampilkan
individu atau kelompok, organisasi terhadap suatu pekerjaan tertentu dan dalam
waktu tertentu pula. Dengan kata lain kinerja dapat diartikan sebagai produk
akhir dari suatu aktivitas kegiatan, baik berupa barang maupun jasa atau yang
berbentuk prilaku, kecakapan, kompotensi, sarana dan keterampilan khusus yang
dapat mendukung pencapaian tujuan dan sasaran organisasi. Dengan demikian
konsep kinerja dalam kaitannya dengan pelaksanaan fungsi Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah (DPRD) sebagai Lembaga Perwakilan Rakyat di daerah. sangat
dipengaruhi oleh kemampuan akademik, pengalaman organisasi, dan kemampuan
profesionalisme individu anggota dewan.
B. Pengukuran Kinerja Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten
Fakfak
Pengukuran kinerja merupakan alat manajemen
untuk meningkatkan kualitas pengambilan keputusan dan akuntabilitas dalam suatu
organisasi. Dalam hal ini pengukuran kinerja mempunyai makna ganda, yaitu
pengukuran kinerja sendiri dan evaluasi kinerja, dimana kedua hal tersebut
terlebih dahulu harus ditentukan tujuan dari suatu
program secara jelas. Pengukuran kinerja merupakan jembatan antara perencanaan
strategik dengan akuntabilitas sehingga suatu pemerintahan dapat dikatakan
berhasil jika terdapat indikator-indikator atau ukuran-ukuran capaian yang
mengarah pada pencapaian misi. Oleh karena itu, tanpa adanya pengukuran kinerja
sangat sulit dicari pembenaran yang logis atas pencapaian misi organisasi
instansi yang bersangkutan. Sebaliknya dengan disusunnya perencanaan strategis
yang jelas, perencanaan operasional yang terukur maka diharapkan tersedia
pembenaran yang logis dan argumentasi yang memadai untuk mengatakan suatu
pelaksanaan program berhasil atau tidak. Teknik dan metode yang digunakan dalam
menganalisis kinerja kegiatan dalam suatu organisasi yang pertama-tama
dilakukan adalah dengan melihat sejauh mana adanya kesesuaian antara program
dan kegiatan sebagaimana yang tertuang dalam perencanaan strategik dalam
organisasi yang bersangkutan.
Pengukuran kinerja
mencakup penetapan indikator kinerja dan penetapan capaian indikator kinerja
yang ada pada suatu instansi pemerintah yang selanjutnya dievaluasi dengan cara
menghitung nilai capaian kinerja dari pelaksanaan kegiatan/program/
kebijaksanaan yang telah ditetapkan (LAN dan BPKP, 2000: 8). Dengan kata lain
tujuan dari suatu kebijakan dan program harus dapat dijelaskan agar sistem
akuntabilitas dapat bermanfaat bagi pembuat kebijaksanaan pada saat mereka
memutuskan untuk melakukan sesuatu yang bermanfaat bagi masyarakat.
Berkaitan
dengan itu, maka untuk mengukur kinerja aparatur pemerintah menurut Dwiyanto
(1995) dapat dilihat dari kinerja organisasi yang melaksanakan atau
mengimplementasikan kebijaksanaan. Dalam mengukur kinerja organisasi dapat
dilihat dari tujuan dan misi organisasi, akan tetapi dalam mengkur kinerja
tersebut seringkali mengalami kesulitan, hal ini dikarenakan tujuan dan misi
organisasi publik seringkali kabur dan bersifat dimensional. Namun secara umum
yang dapat dipakai sebagai acuan melihat kinerja sering digunakan dua ukuran,
yaitu dari cakupan dan kualitas pelayanan. Adapun beberapa penetapan indikator
kinerja dan penetapan pencapaian kinerja dapat diuraikan sebagai berikut.
1.
Penetapan indikator kinerja.
Penetapan
indikator kinerja merupakan proses identifikasi dan klasifikasi indikator
kinerja melalui sistem pengumpulan dan pengolahan data/informasi untuk
menentukan capaian tingkat kinerja kegiatan/program. Penetapan indikator
kinerja tersebut didasarkan pada kelompok masukan (inputs), keluaran (outputs),
hasil (outcomes),
manfaat (benefits) dan
dampak (impacts).
Indikator kinerja hendaknya : 1) spesifik dan jelas, 2) dapat diukur secara
objektif baik yang bersifat kuantitatif dan kualitatif,
3) dapat dicapai, penting dan harus berguna untuk menunjukkan pencapaian
keluaran, hasil, manfaat dan dampak, 4) harus cukup fleksibel dan sensitif
terhadap perubahan, dan 5) efektif yaitu dapat dikumpulkan, diolah dan
dianalisis datanya secara efisien dan ekonomis.
Ada beberapa jenis
indikator kinerja yang sering digunakan dalam
pelaksanaan pengukuran kinerja suatu organisasi.
a. Indikator masukan adalah segala
sesuatu yang dibutuhkan agar pelaksanaan kegiatan dapat berjalan untuk
menghasilkan keluaran. Indikator ini dapat berupa dana, sumber daya manusia,
informasi, kebijaksanaan peraturan perundang-undangan dan sebagainya.
b. Indikator proses adalah segala
besaran yang menunjukkan upaya yang harus dilakukan dalam rangka mengolah
masukan menjadi keluaran, indikator proses menggambarkan perkembangan atau
aktivitas yang terjadi atau dilakukan selama pelaksanaan kegiatan berlangsung,
khususnya dalam proses mengolah masukan menjadi keluaran.
c. Indikator keluaran adalah sesuatu
yang diharapkan langsung dicapai dari suatu kegiatan yang dapat berupa fisik
dan atau non fisik.
d. Indikator hasil adalah sesuatu
yang mencerminkan berfungsinya keluaran kegiatan pada jangka menengah (efek
langsung).
e.
Indikator
manfaat adalah sesuatu yang terkait dengan tujuan akhir dari
pelaksanaan kegiatan.
f.
Indikator
dampak adalah pengaruh yang ditimbulkan baik positif maupun
negatif pada setiap tingkatan indikator berdasarkan asumsi yang telah
ditetapkan (LAN dan BPKP, 2000:12).
2.
Penetapan capaian kinerja.
Penetapan capaian kinerja dimaksudkan untuk
mengetahui dan menilai capaian indikator kinerja pelaksanaan kegiatan / program
dan kebijaksanaan yang telah ditetapkan oleh organisasi. Pencapaian
indikator-indikator kinerja tersebut tidak terlepas dari proses yang merupakan
kegiatan mengolah input menjadi output, atau proses penyusunan kebijaksanaan /
program / kegiatan yang dianggap penting dan berpengaruh antara tingkat
capaian, kinerja output tertentu dengan proses pencapaian seperti kecepatan dan
keakuratan, ketaatan pada perundang-undangan dan keterlibatan kelompok target
terkait. Dengan demikian sesungguhnya disamping kelompok indikator menurut input, output, outcome, benefit dan impact, juga terdapat kelompok indikator menurut proses.
Adapun bidang-bidang yang dapat mengambil manfaat dari manajemen
berdasarkan kinerja adalah :
a.
Penyusunan program pelatihan dan pengembangan pegawai
karena dengan menerapkan
manajemen kepegawaian berbasis kinerja, kebutuhan akan pelatihan bagi
masing-masing pegawai dapat diidentifikasikan dengan lebih akurat;
b.
Penyusunan program suksesi dan kaderisasi, karena
penerapan manajemen kepegawaian berbasis kinerja memungkinkan organisasi
mengetahui potensi yang dimiliki pegawai dengan mudah;
c.
Pembinaan pegawai, khususnya dalam membantu pegawai
mengatasi hambatan-hambatan yang dihadapinya dalam melaksanakan tugas.
Menurut Tjipto
(2000: 132), bahwa ukuran kinerja yang kerap kali digunakan untuk menilai
layanan pelanggan terdiri atas tiga kategori yakni :
a.
Unsur-unsur pra-transaksi, meliputi ketersediaan pasokan
/ kesediaan dan target tanggal pengiriman.
b.
Unsur-unsur transaksi, terdiri atas status pemesanan,
pelacakan pesanan, bacholder status, kekurangan pengiriman, keterlambatan,
pengiriman, substitusi produk dan routing
change.
c.
Unsur-unsur paska transaksi, terdiri atas tanggal
pengiriman aktual, teratur, dan penyesuaian (adjustments)
Penetapan capaian kinerja dimaksudkan untuk mengetahui
dan menilai capaian indikator kinerja dari pelaksanaan
kegiatan/program dan kebijaksanaan yang telah ditetapkan oleh suatu instansi
pemerintah. Pencapaian indikator-indikator kinerja tersebut tidak terlepas dari
proses yang merupakan kegiatan mengolah input menjadi output atau
proses penyusunan kebijaksanaan / program / kegiatan yang dianggap penting dan
berpengaruh terhadap pencapaian sasaran dan tujuan.
Adapun formula
yang dapat digunakan untuk menganalisis data atau mengukur kinerja dalam suatu
organisasi atau instansi adalah metoda akuntabilitas kinerja (LAN dan
BPKP, 2000:12). Dimana metode ini menggunakan alat analisis sebagai berikut.
1. Capaian indikator
kinerja
Indikator kinerja yang digunakan adalah indikator masukan
(input), indikator keluaran (output), indikator hasil (outcome), indikator manfaat (benefit) dan indikator dampak (impacts) capaian indikator kinerja
dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut :
Nilai capaian kegiatan = x 100%
2.
Nilai capaian
indikator kinerja
Nilai capaian indikator kinerja kegiatan dapat diperoleh
dengan menggunakan rumus;
Nilai capaian
Indikator kinerja =
3.
Nilai capaian
kelompok indikator kinerja dengan menggunakan rumus;
Nilai capaian kel.
Indik.kinerja =
4. Nilai capaian akhir kegiatan dengan menggunakan rumus;
Nilai capaian
Akhir kegiatan =
5. Nilai Capaian
akhir program dengan menggunakan rumus;
Nilai capaian
Akhir Program =
6. Bobot Indikator
Kinerja
Penentuan bobot
dilakukan secara subyektif yang didasarkan pada visi, misi dan strategi
pembangunan daerah. Bobot kegiatan ditentukan sehingga jumlah nilai capaian
program adalah seratus persen.
Untuk memudahkan
penentuan bobot perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a.
indikator yang
menunjukkan outcomes atau benefits diberi bobot yang lebih tinggi
daripada indikator yang menunjukkan inputs
atau outputs;
b.
indikator yang
lebih erat kaitannya dengan tujuan dan sasaran, serta kebijaksanaan, program
dan kegiatan diberi bobot yang lebih tinggi;
c.
indikator yang
mempunyai keterkaitan dengan kebijaksanaan instansi yang lebih tinggi, diberi
bobot tinggi;
d.
indikator yang
berhubungan dengan hal-hal yang menjadi tanggung jawab instansi dan dapat
dikendalikan oleh instansi yang bersangkutan diberi bobot yang lebih tinggi
daripada indikator yang menggambarkan hasil kegiatan yang di luar kendali.
C. Kedudukan dan Fungsi badan anggaran
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Dalam negara demokrasi, lambaga legislatif merupakan
lembaga yang esensial, sebab mewakili rakyat untuk mengemukakan aspirasinya agar
dapat tertuang dalam kebijaksanaan pemerintah. Hal ini sungguh-sungguh sesuai
dengan kehendak umum (rakyat). Dalam hal ini berarti bahwa institusi legislatif
yang hadir sebagai suatu keniscayaan dari demokrasi adalah tidak mungkin
membayangkan terwujudnya suatu pemerintahan yang menunjang demokrasi tanpa
kehadiran lembaga legislatif. Dalam konteks pemahaman seperti ini legislatif pada
intinya memiliki tiga konsepsi fungsi. Pertama, yakni sebagai salah satu
lembaga di samping sebagai yudikatif juga berfungsi untuk melakukan pengawasan
terhadap eksekutif, khususnya dalam pengawasan terhadap administrasi
pemerintahan (overseeing the administration of gevernment). Kedua, institusi
legislatif juga dikonsepsikan sebagai lembaga perwakilan masyarakat dengan tujuan
untuk mengetahui aspirasi dan kepentingan masyarakat luas dalam menjalankan
pemerintahan. Oleh karena itu, legislatif tidak hanya berfungsi untuk mengawasi
eksekutif, tetapi juga memiliki fungsi ketiga, yakni harus mewakili dan
bertanggungjawab terhadap keinginan masyarakat luas. Berdasarkan pertimbangan
ini, penilaian terhadap kinerja lembaga legislatif akan meliputi tiga dimensi,
yaitu dimensi kontrol, pertanggungjawaban dan kepekaan.
Dalam
penyelenggara pemerintah daerah otonomi adalah meliputi DPRD dan Pemerintah
Daerah. DPRD dipisahkan dari pemerintahan daerah dengan maksud untuk lebih
memberdayakan DPRD dan meningkatkan pertanggungjawaban pemerintah kepada
rakyat.
Berdasarkan
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1999 telah memberikan kedudukan sejajar dan
menjadi mitra bagi pemerintah daerah. Dengan demikian posisi DPRD sebagai
kontrol pemerintah menjadi lebih kuat, sehingga lembaga legislatif tersebut
secara hierarkis menempati posisi yang sangat menentukan dalam pemerintah
daerah.
Menurut kajian Lembaga Pertahanan Nasional
(LEMHANAS), disimpulkan bahwa fungsi lembaga perwakilan rakyat dibagi atas
empat dimensi, yakni : 1) Dimemensi sebagai wakil rakyat yang menceminkan
berbagai aspirasi dan kepentingan rakyat, 2) Dimensi legislatif, 3) Diminsi
pengontrol jalannya pemerintahan, dan 4) Dimensi lain yang belum tercakup dalam
ketiga dimensi tadi (Budihardjo, 1993: 151).
Secara
konstitusional, DPRD berfungsi membentuk citra pemerintahan umum, yang
mempertimbangkan, mana pemimpin atau kebijaksanaan-kebijaksanaan yang baik atau
yang dapat diterima dan didukung oleh seluruh rakyat. Perwujudan fungsi yang
terakhir ini akan berpengaruh pada stabilitas politik dan iklim kerja kelompok
eksekutif untuk bekerja secara efektif Budihardjo (1993 :152). Dengan
demikian lembaga perwakilan rakyat mempunyai fungsi penting dalam sistem
ketatanegaraan dan praktek penyelenggaraan negara. Fungsi yang dimaksud adalah
pengawasan, legislasi dan anggaran. Untuk melaksanakan ketiga fungsi ini harus
dimiliki beberapa hak yang diatur dalam tata tertib.
Berdasarkan
beberapa pengertian yang telah dikemukakan di atas, maka dalam pengukuran
kinerja DPRD dalam menjalankan fungsinya secara umum adalah mencakup
efektifitas pengawasan DPRD sebagai berikut :
1. Proses
pengawasan pelaksanaan penyelenggaraan Peraturan Daerah dan peraturan
perundang-undangan lain, seperti; pelaksanaan Keputusan Gubernur, Bupati atau
Walikota; pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, Kebijakan
Pemerintah Daerah, dan pelaksanaan kerja sama internasional di daerah;
2. Penggunaan
biaya yang efektif, artinya bahwa apakah APBD yang dilaksanakan oleh pemerintah
suadah efektif;
3. Partisipasi
dan pemberdayaan. Apakah pemerintah daerah (Eksekutif Daerah) telah melibatkan
dan memberdayakan masyarakat sesuai dengan pendekatan paradigma pembangunan
masyarakat;
4. Personal,
yaitu apakah secara personal setiap pimpinan dan juga anggota DPRD telah
melakaukan kerjasama yang baik untuk melakukan pengawasan.
5. Perencanan,
yakni apakah perencanaan yang dilakukan telah sesuai dengan kebutuhan dan
dokumen perencanaan yang ada.
6. Pengorganisasian, yaitu apakah orang-orang yang
terlibat dalam proses pengawasan terorganisir dengan baik.
7. Komunikasi,
yaitu apakah komunikasi antara legislatif daerah dan eksekutif daerah berjalan
secara efektif.
8. Evaluasi,
yakni apakah ada kegiatan evaluasi pelaksanaan pengawasan yang dilakukan.
D. Konsep Pemerintahan Daerah
Sebelum membahas lebih lanjut tentang pemerintahan
daerah, maka perlu terlebih dahulu mengemukakan pemahaman atau konsepsi tentang
pemerintahan. Secara etimologi, istilah pemerintahan berasal dari “Perintah”
yang berarti melakukan pekerjaan menyuruh atau suatu badan yang melakukan
kekuasaan memerintah. Sedangkan “Pemerintahan” berarti perbuatan, cara,
hal atau urusan dari badan yang memerintah tersebut (Syafiie, 1994 :11).
Menurut Ryaas Rasyid (1997:15)
pemerintahan merupakan suatu bagian penting dalam suatu negara. Terbentuknya
suatu negara karena adanya pemerintahan, rakyat wilayah, dan pengakuan sebagai
suatu syarat umum. Pemerintahan itu sendiri dalam arti luas mencakup eksekutif,
legislatif dan yudikatif. Sedangkan dalam arti sempit adalah eksekutif itu
sendiri, dalam arti pemimpin (Kepala Negara) pemerintahan bersama kabinet
(dewan menteri-menteri).
Selanjutnya Ryaas Rasyid mengemukakan
bahwa pemerintahan merupakan sekumpulan orang-orang yang mengelola
kewenangan-kewenangan tertentu dari lembaga-lembaga dimana mereka ditempatkan
adalah personifikasi dari kekuasaan. Jadi, kalau aturan main dan lembaga
merupakan dua kompopnen yang bersifat abstrak dan statis dari suatu sistem
pemerintahan, maka aparatur birokrasi dan pejabat politik yang duduk di tiga
cabang pemerintahan itu adalah komponen yang konkrit, aktif dan dinamis. Para
pemimpin pemerintahan yang merupakan inti dari pelaku kekuasaan itu bertanggung
jawab atas pelaksanaan kewenangan lembaga sebagaimana ditetapkan oleh
konstitusi dan hukum. Mereka
juga bertanggung jawab untuk mentaati nilai-nilai etika yang berlaku dalam
lingkungan masyarakat, dengan kata lain aparat pemerintah harus menjadi teladan
bagi masyarakat.
Konsepsi pemerintahan dapat diartikan secara statis maupun dinamis.
Pemerintahan dalam arti statis adalah sebagai lingkungan jabatan yang berisi
lingkungan pekerjaan tetap. Pemerintahan dalam arti dinamis mengandung
pengertian gerak atau aktivitas berupa tindakan atau proses menjalankan
kekuasaan pemerintahan. Pemerintah dinamis di bidang eksekutif antara lain
melakukan tindakan memelihara ketertiban keamanan, menyelenggarakan
kesejahteraan umum dan lain-lain. Pemerintahan dinamis di bidang yudikatif
melakukan kegiatan memeriksa, memutus perkara dan lain sebagainya. Sedangkan
pemerintahan dinamis di bidang legislatif adalah melakukan kegiatan membuat UU,
menetapkan anggaran pendapatan dan Belanja Negara, melakukan pengawasan, turut
serta dalam mengisi jabatan tertentu dan lain-lain.
Pengertian pemerintahan dan pemerintah menurut UU nomor 22 tahun 1999 yang
dikaitkan dengan pengertian “Pemerintah Daerah” adalah penyelenggaraan
pemerintah daerah otonom oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut atau
berdasarkan asas desentralisasi (Pasal 1 butir d). Pemerintahan dalam ketentuan
ini sekaligus mencakup makna sebagai kegiatan atau aktivitas penyelenggarakan
pemerintahan dan lingkungan jabatan yaitu pemerintah daerah dan DPRD. Satu hal
yang perlu ditambahkan bahwa “Pemerintah Daerah” memiliki arti khusus, yaitu
pemerintahan daerah otonom yang dilaksanakan menurut atau berdasarkan asas
desentralisasi.
Berdasarkan
pengertian pemerintahan daerah di atas, maka pemerintahan pusat dapat diartikan
sebagai seluruh penyelenggaraan pemerintahan yang tidak diselenggarakan oleh
otonom. Ditinjau dari isi wewenang, pemerintahan daerah otonom menyelenggarakan
sekaligus dua aspek otonomi. Pertama, otonomi penuh yaitu semua urusan dan
fungsi pemerintahan yang menyangkut baik mengenai isi substansi maupun tata
cara penyelenggaraannya. Urusan ini dalam unkapan sehari-hari disebut otonomi.
Kedua, otonomi tidak penuh, yakni Daerah hanya menguasai tata cara
penyelenggaraan, tetapi tidak menguasai isi pemerintahannya. Urusan ini lazim disebut
tugas pembantuan.
E. Kerangka Pikir
Dalam era
reformasi dan otonomi daerah yang tengah diselenggarakan dewasan ini,
unsur-unsur pemerintahan daerah sebagai pelaksana pemerintahan dan pembangunan
di daerah memegang peranan penting dalam mewujudkan tujuan pembangunan
nasional. Sebagaimana tujuan pembangunan nasional merupakan suatu rangkaian
dari kegiatan yang dinamis dalam upaya melakukan perubahan, pembaharuan,
pertumbuhan dan pemerataan hasil-hasilnya untuk menciptakan keadilan dan
kemakmuran, serta meningkatkan taraf hidup masyarakat, dalam rangka terwujudnya
kualitas manusia yang handal dan bermoral tinggi. Konsep pembangunan yang
terkandung di dalam makna pembangunan ini adalah bahwa pada dasarnya pembangunan
itu bertujuan untuk meningkatkan harkat dan martabat manusia secara menyeluruh.
Dalam
penyelenggaraan otonomi daerah dengan pemberian kewenangan yang luas, nyata dan
bertanggung jawab kepada daerah secara proporsional, yang diwujudkan dengan
pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan,
serta perimbangan keuangan Pusat dan Daerah, maka
pemerintah daerah dituntut untuk memberdayakan semua potensi yang dimiliki,
baik sumber daya alam maupun sumber daya manusia unsur-unsur pemerintahan. Dimana penyelenggaraan otonomi daerah ini dilaksanakan
dengan prinsip-prinsip demokrasi dan memperhatikan keaneka ragaman potensi yang
dimiliki masing-masing daerah.
Sehubungan dengan uraian di atas, maka hakekat pelaksanaan otonomi daerah adalah
koheren dengan prinsip pemerintahan demokrasi dan bergayut dengan negara hukum.
Pengakuan terhadap adanya daerah-daerah otonom sebagai wadah penjabaran politik
desentralisasi, pada dasarnya bertujuan untuk mengapresiasi dan
mengimplementasi hak-hak politik warga masyarakat daerah secara terorganisir
guna mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat.
Dengan adanya pemberian kewenangan yang luas kepada daerah dalam kerangka
otonomi daerah, maka lembaga legislatif memegang peranan penting dalam
menegakkan prinsip demokrasi. Dimana lembaga inilah yang menentukan
terselenggaranya roda pemerintahan dan hidup matinya suatu negara hukum serta
kokohnya bangunan demokrasi. Dengan melalui lembaga legislatif inilah warga
negara berkesempatan untuk mengekspresikan hak-hak asasinya (hak-hak dalam
bidang politik).
Berdasarkan uraian di atas, maka dalam pelaksanaan pemerintahan di daerah,
DPRD sebagai unsur pemerintahan di daerah memegang peranan penting dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah. DPRD dalam menjalankan fungsinya sebagai
wakil rakyat, legislatif, pengontrol/pengawas terhadap jalannya pemerintahan,
perlu didukung oleh individu anggota dewan yang memiliki kemampuan kinerja dan
moralitas tinggi yang mampu mengaspirasikan kepentingan rakyat terutama dalam
pelaksanaan fungsi DPRD sebagai lembaga perwakilan rakyat. Oleh karena
kurangnya kemampuan kinerja DPRD dalam melaksanakan fungsinya, maka
konsekwensinya akan melahirkan aparat pelaksana pemerintahan di daerah yang
tidak mampu menjalankan tugas-tugas yang diemban sebagaimana mestinya, dan
bahkan cenderung memanfaatkan kekuasaannya dan menyalagunakan wewenang yang
diamanatkan oleh rakyat untuk kepentingan kelompok atau kepentingan pribadi.
Berdasarkan dengan itu, DPRD Kabupaten Fak-Fak merupakan institusi terdepan
dalam memperkuat kemandirian pelaksanaan otonomi daerah di Kabupaten Fak-Fak.
Oleh karena itu, pemberdayaan anggota DPRD terhadap pelaksanaan fungsinya
merupakan suatu keharusan, karena melalui institusi ini aspirasi dan kepentingan
warga masyarakat ditransformasikan, kemudian di bahasakan ke dalam norma-norma
hukum dalam wujud peraturan daerah. Namun untuk memberdayakan anggota DPRD Kabupaten Fak-Fak
terhadap pengambilan keputusan dan dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya, tentunya
dipengaruhi kemampuan kinerja individu DPRD Kabupaten Fak-Fak dalam memecahkan
suatu persoalan terutama dalam pelaksanaan fungsi pengawasan terhadap
eksekutif.
Kinerja instansi pemerintah daerah pada
lembaga DPRD Kabupaten Fak-Fak adalah merupakan perwujudan kewajiban lembaga
sebagai salah satu instansi pemerintah pada lembaga legislatif daerah untuk
mempertanggungjawabkan keberhasilan atau kegagalan pelaksanaan misi dan visinya
dalam mencapai tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan melalui alat pertanggungjawaban
secara periodik. Untuk mengetahui tingkat keberhasilan / kegagalan suatu
instansi pemerintah/lembaga legislatif, maka seluruh aktivitas dari
instansi/lembaga tersebut harus dapat diukur. Pengukuran aktivitas tersebut
tidak semata-mata kepada masukan dari program instansi/lembaga tersebut tetapi
lebih ditekankan kepada keluaran, manfaat, dan dampak dari program instansi/lembaga tersebut bagi kesejahteraan
masyarakat.
Pengukuran kinerja pada lembaga DPRD Kabupaten
Fak-Fak dalam menjalankan fungsinya mencakup penetapan indikator-indikator
kinerja yang dilakukan melalui evaluasi kinerja dari pelaksanaan kegiatan,
program dan berbagai kebijaksanaan yang telah ditetapkan. Penilaian terhadap
pertanggungjawaban dilakukan analisis pencapaian kinerja dengan
mengintepretasikan lebih lanjut hasil pengukuran kinerja yang menggambarkan
keberhasilan atau kegagalan DPRD Kabupaten Fak-Fak dalam menjalankan fungsinya
dan menerima aspirasi masyarakat sebagai salah satu kewajiban anggotanya. Untuk
lebih jelasnya disajikan pada kerangka pikir berikut ini :
KINERJA BADAN ANGGARANDPRD
KABUPATEN FAK-FAK
DALAM
MENJALANKAN FUNGSINYA
TUGAS DAN
FUNGSI BANGGAR
- ANGGARAN
FAKTOR
BERPENGARUH
FAKTOR INTERNAL FAKTOR
EKSTERNAL
- Tingkat Pendidikan -
Campur Tangan Penguasa
- Tatatertib DPRD
- Kondisi Politik
- Sikap Anggota Dewan -
Sosial Ekonomi
EFEKTIFITAS
KINERJA DPRD
PENYALURAN ASPIRASI
MASYARAKAT
Gambar : Skema Kerangka Pikir
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis dan Desain Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian
ini bersifat deskriptif yang bertujuan memberikan gambaran secara tepat
sifat-sifat suatu individu, keadaan, gejala, atau kelompok tertentu, atau untuk
menentukan frekuensi atau penyebaran suatu gejala dengan gejala lain dengan
masyarakat. Penelitian ini bersifat deskriptif yang menggunakan data
kualitatif.
2.
Desain Penelitian
Penelitian ini berfokus pada bidang sosial, maka desain
penelitian yang digunakan adalah non eksperimental dan bersifat deskriptif
kualitatif dengan menggunakan table frekuensi. Penelitian ini dilakukan dengan
pendekatan studi kasus. Hal ini dilakukan mengingat luasnya bidang kerja DPRD Kabupaten
Fak-Fak yang harus diteliti.
B. Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Desember 2011 sampai dengan bulan april 2012 . Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Fak-Fak yang
difokuskan pada anggota Lembaga Legislatif DPRD Kabupaten Fak-Fak. Pemilihan
lokasi penelitian ini berdasar pada pertimbangan bahwa DPRD Kabupaten Fak-Fak
merupakan bagian dari perangkat penyelenggaraan pemerintahan daerah yang
memegang peranan penting terhadap terselenggaranya pemerintahan dan pembangunan
di Kabupaten Fak-Fak. Disamping itu, dengan adanya pemberian kewenangan kepada
daerah Kabupaten/Kota secara luas dan nyata, maka pemerintah daerah dituntut
untuk berupaya memberdayakan potensi yang dimiliki anggota DPRD Kabupaten
Fak-Fak, terutama dalam pelaksanaan fungsinya.
C. Populasi dan Sampel
1.
Populasi
Populasi
penelitian ini adalah anggota Badan Anggaran DPRD
Kabupaten Fak-Fak yang berjumlah 13
orang dan unsur-unsur pemerintah daerah yang terkait dalam lingkungan
pemerintahan Kabupaten Fak-Fak sebagai pelaksana kebijakan pemerintahan dan
pembangunan Kabupaten Fak-Fak.
2. Sampel
Mengingat
keterbatasan waktu, dana dan tenaga serta sifat populasi penelitian yang
homogen, maka teknik penarikan sampel yang digunakan khusus kepada anggota badan anggaran DPRD Kabupaten
Fak-Fak digunakan teknik sampel jenuh, dimana semua unsur populasi (Anggota
Dewan) yang berjumlah 13
orang dijadikan sampel, dan sampel yang diambil dari unsur-unsur pemerintah
daerah Kabupaten Fak-Fak digunakan teknik penarikan puposive sampling sebanyak 20 orang, sehingga jumlah sampel yang
digunakan dalam penelitian ini sebanyak 33
responden. Sedangkan yang dijadikan informan dalam penelitian ini adalah
meliputi tokoh-tokoh masyarakat, LSM, tokoh-tokoh politik pejabat pemerintah Kabupaten
Fak-Fak, yaitu : Bupati Kabupaten Fak-Fak, Kepala-Kepala Dinas, Badan dan
Kantor dalam lingkup pemerintah daerah Kabupaten Fak-Fak serta para pimpinan
partai politik peserta pemilu tahun 2009
yang memperoleh suara di DPRD Kabupaten Fak-Fak.
D. Pengumpulan dan Analisis Data
1.
Pengumpulan Data
Untuk memperoleh data yang dibutuhkan dalam penelitian
ini digunakan teknik sebagai berikut :
1.
Dokumentasi, yakni
mencatat data secara langsung dari dokumen, laporan yang berkaitan dengan
masalah penelitian.
2.
Interview
(wawancara), yaitu melakukan wawancara langsung terhadap sejumlah informan
kunci guna memperoleh data yang dibutuhkan untuk mengetahui Kinerja Badan Anggaran DPRD Kabupaten Fak-Fak dalam menjalankan fungsinya.
3.
Kuesioner, yaitu
daftar pertanyaan yang berkaitan dengan masalah penelitian yang diedarkan pada
sejumlah responden terpilih.
2. Analisis Data
Penelitian
ini merupakan penelitian yang bersifat deskriptif kualitatif, yakni suatu
penelitian yang bertujuan untuk mendeskripsikan kinerja badan anggaran DPRD Kabupaten
Fak-Fak dalam menjalankan fungsinya, yakni fungsi legislasi, anggaran, dan
pengawasan yang dapat mengakomodir aspirasi rakyat dan faktor-faktor
yang menjadi kendala dalam upaya peningkatan kinerja badan anggaran DPRD Kabupaten
Fak-Fak sesuai dengan pelaksanaan fungsinya. Data yang telah dikumpulkan,
selanjutnya dianalisis dengan menggunakan teknik analisis deskriptif kualitatif
dalam bentuk tabulasi persentase dari frekuensi jawaban responden dengan
menggunakan rumus sebagai berikut
F
P
= X 100%
N
Dimana :
P = Persentase
F = Frekuensi pada Kategori Pilihan
N = Jumlah Responden (Sugiono, 1998 :73)
Adapun skala yang digunakan untuk
mengukur setiap item adalah skala likert, dengan memberikan skor pada setiap
kategori sebagai berikut :
Nilai 4 = Sangat baik
Nilai 3-3,99
= Cuku Baik
Nilai 2-2,99
= Kurang Baik
Nilai 1-1,99 =
Tidak Baik
E.
Defenisi Operasional
Dalam penelitian
ini terdapat dua variable, yaitu variable terikat dan variabel bebas. Veriabel
terikat Kinerja badan anggaran DPRD Kabupaten Fak-Fak dalam menjalankan
fungsinya. Sedangkan variabel bebas adalah faktor-faktor yang berpengaruh
terhadap kinerja badan anggaran DPRD Kabupaten
Fak-Fak dalam melaksanakan fungsinya. Untuk lebih jelasnya defenisi operasional
penelitian dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Kinerja badan anggaran DPRD yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah kemampuan
kerja badan anggaran DPRD Kabupaten Fak-Fak dalam melaksanakan fungsinya
sesuai dengan tugas-tugas pokok dan tanggung jawab yang diemban sebagai wakil
rakyat.
2. Fungsi badan anggaran DPRD yang dimaksud adalah mencakup fungsi Anggaran.
3. Fungsi pengawasan
adalah mencakup fungsi pengawasan terhadap penyelenggaraan Peraturan Daerah dan
peraturan perundang-undangan lain, seperti; pelaksanaan Keputusan Gubernur,
Walikota; pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, Kebijakan
Pemerintah Daerah, dan pelaksanaan kerja sama internasional di daerah.
4. Fungsi
anggaran adalah fungsi DPRD yang
menyangkut penetapan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
5. Tingkat
pendidikan adalah tingkat pendidikan
formal yang dimiliki setiap anggota dewan yang dapat menunjang efektifitas
kinerja DPRD Kabupaten Fak-Fak dalam menjalankan fungsinya.
6. Tata Tertib DPRD adalah aturan-aturan yang mengatur
segala kegiatan dalam pelaksanaan fungsi DPRD Kabupaten Fak-Fak.
7. Sikap anggota dewan adalah
menyangkut prilaku moral dan kedisiplinan anggota dewan dalam melaksanakan
tugas dan fungsinya.
8. Campur tangan penguasa yang dimaksud
dalam penelitian ini adalah adanya keterlibatan oleh eksekutif dalam penetapan
kebijaksanaan DPRD Kabupaten Fak-Fak
9. Kondisi
politik adalah kondisi politik yang dapat mempengaruhi prilaku individu
anggota dewan dalam melaksanakan fungsi DPRD Kabupaten Fak-Fak
10. Sosial
Ekonomi adalah kondisi sosial ekonomi yang dapat mempengaruhi prilaku
individu anggota dewan dalam melaksanakan fungsi DPRD Kabupaten Fak-Fak.
11. Kualitas sumberdaya manusia, adalah kemampuan profesionalisme anggota DPRD Kabupaten
Fak-Fak dalam melaksanakan tugas yang diemban.
12. Sarana dan prasarana, adalah ketersediaan fasilitas peralatan yang dibutuhkan untuk
melaksanakan fungsi DPRD Kabupaten Fak-Fak.
DAFTAR PUSTAKA
Achmad, S. Rucky,
2001; Sistem Manajemen Kinerja, Performance Management System, Panduan
Praktis Untuk Merancang Kinerja Prima, Cetakan Pertama, PT. Gramedia Pustaka
Utama Jakarta.
Alfian, 1990,
Masalah Pelaksanaan Fungsi DPR yang Diinginkan oleh UUD 1945, dalam Jurnal Ilmu
Politik, Nomor 7, AIPI,LIPI, dan PT. Gramedia, Jakarta.
Anonim, 2009.
Laporan Kepala LAN-RI pada Rapat Koordinasi PAN Tingkat Nasional 2009 di
Makassar
Asian Development
Bank, 1998. Governance in Asia: From Crisis to Opportunity, 1999 Reprinted from
ADB Annual Report.
Benardin, H John
& Russel AA 1993, Human Resouces Management, An Experimential Approach, Mc
Goww-Hill International Edition, Mc Graww-Hill Book Co. Singapore.
Blau, M. Peter
dan Marshall W.Meyer. 2000. Birokrasi Dalam Masyarakat Modern, Prestasi
Pustakaraya, Jakarta.
Budiardjo, Miriam
dan Ibrahim Ambon, 1993. Fungsi Legislatif dalam Sistem Politik Indonesia. PT.
Raja Grapindo Persada, Jakarta.
David Obsborne
Ted Gaebler, 1997, Reinventing Government: How the Enterprineurial Spirit is
Transforming the Public Sector, Penterjemah Abdul rasyid Cetakan ke tiga PT.
Ikrar Mandiri Abadi Jakarta.
Deep, Sam dan
LyIe Sussman, 1996; Mengefektifkan Kinerja, Saran untuk Menghadapi 44 Jenis
Orang yang Menimbulkan Masalah di Lingkungan Kerja, Penerbit PT. Pustaka
Binaman Presindo Jakarta.
Depdagri, 2001.
Kebijakan Pemerintah Berkaitan Dengan Penataan Kewenangan, Kelembagaan dan
Personil, DDN dan Otoda, Jakarta.
Dwiyanto, 1995. A
Comparative Research Project on Rural Public Service and Local Level Civil
Service Reforms, Centre for Population and Policy Studies, UGM.
Herbert G. Hichs
dk. 1995, Essentials of Public Administration, Massachusetts. Dexbury Press.
IsIamy, Irfan M.
; 2003; Prinsip-prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara; Diterbitkan PT. Bumi
Aksara Jakarta.
James C. Craig
Robert M. Grant; 2002 Strategic Management (Manajemen; Strategi Sumber Daya,
Perencanaan, Efisiensi, Biaya-sasaran, Cetakan ke tiga PT. Gramedia Jakarta.
John M. Bryson,
2000 Strategic Planning for Organizations A Guide Strengthening and Sustaining
Organization Achvement, Penterjemah M. Miftahuddin Cetakan II Penerbit Pustaka
Pelajar Yogyakarta.
Joko Widodo,
2001; Good Gonernance; Telaah dari Dimensi : Akuintabilitas dan Kontrol
Birokrasi pada Era Desentralisasi dan Otonomi Daerah Penerbit dan Percetakan,
Insan Cendekia Surabaya.
Kartasasmita,
Ginandjar, 1996. Pembangunan Untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan,
CIDES, Jakarta.
Kusnadi dan
Bintan R. Saragih, 1993. Ilmu Negara, Gaya Media Pratama, Jakarta.
Leach dan Percy
Smith, 2001. Local Governance in Britain, New York : Palgrave.
Louis A. Allen
1958; Management and Organization, McGraw-Hill Kogakusha, Ltd. Tokyo.
Martimer R.
Feiberg (Drs. R. Turman Sirait penterjemah) 1979; Psikologi yang Efektif untuk
Pemimpin, Pejabat dan Usahawan; Cv. Tulus Jaya, Jakarta.
Martin Kressburg,
1971, Public Administration in Developing Countries, Fourth Printing the Booking Institution, Washington,
DC
Moenir, H.A.S.
2000; Manajemen Pelayanan Umum di Indonesia, Cetakan ke empat, diterbitkan oleh PT. Bumi Aksara Jakarta.
Obsborne, David
dan Peter Plastik, 2001; Banishing, Bureaurcacy : The five Strategies for
Reinventing Government, penterjemah : Abdul Rasyid Ramelan, Cetakan Kedua
(Revisi) oleh cv. Taruna Grafica Jakarta.
Pigors, Paul
& Charles A. Mayers, 1952, Reading in Personnel Administration, Mc
Graw-Hill Book Company, Inc, New York.
Poli, W.I.M.;
1997; Manajemen Pengendaluan Mutu; Program Magister Administrasi Kerjasama
Lan-RI-UNHAS Makasar.
Pramudia Soon,
1999. Peran Sumber Daya Manusia dalam Penerapan ISO 9000, Kajian Sumber Daya
Manusia dengan Pendekatan Total Quality Management, Penerbit PT. Gramedia
Widiasarana Indonesia Jakarta.
Prawirosentono,
Suryadi, 1999. Manajemen Sumberdaya Manusia, Kebijakan Kinerja Karyawan; BPFE
Yogyakarta.
Ronald J.
Schmidt, 1980, Public Administrations Searh for the Public, Paper disampaikan
pada Konferensi Tahunan Perkumpulan Sarjana Administrasi Negara Amerika (ASP
A).
Saleh, Karim. HA.
2002; Otonomi Daerah DPR Sejajar Kepala Daerah, Kenapa DPRD Menolak Laporan
Pertanggung Jawaban Kepala Daerah, Hasanuddin University Press Makassar.
Sj Sumarto,
Hetifah, 2009. Inovasi, Partisipasi dan Good Governance 20 Prakarsa Inovatif
dan Partisipatif di Indonesia, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
Sondag P.
Siagian, 1998; Manajemen Sumber Daya Manusia, Penerbit Bumi Aksara Yogyakarta.
Steven Cohen
Ronald Brand, 1993; Total Quality Management in Government a Practical Guide for the Real World,
First Edition New York.
Sujarto, Joko.
1993. Kinerja dan Dampak Tata Ruang Dalam Pembangunan Kota. Disertasi, ITB,
Bandung.
Suprapto, J.
1997; Pengukuran Kepuasan Pelanggan untuk Menaikan Pangsa Pasar, Cetakan
Pertama, diterbitkan oleh PT. Rinekacipta Jakarta.
Tjiptono, Fandy.
2000; Prinsip-prinsip Quality Service (TQS) Penerbit Andi, Cetakan Pertama
Yogyakarta.
Van Meter, Donal
S dan van Horn, Carl E, 1975. The Policy Implementation Process: A Conseptual
Framework in Administration & Society, Vol. 6 No.4. Hal 445-485.
Watkins, Gordon,
S. 1950; The Management of Personnel and Labor Relations; McGraw-Hill Book Company, Inc. New York.
William N. Dunn,
1994; Publik Policy Analysis An Introduction, Perntice-Hall International, Inc University of
Pittsbergh, Canada.
PROPOSAL PENELITIAN
ANALISIS TERHADAP FUNGSI DAN KINERJA BADAN ANGGARAN
DEWAN
PERWAKILAN RAKYAT DAERAH
KABUPATEN
FAK-FAK
OLEH
SEMUEL HEGEMUR
P2MM.09.02.03.146
PROGRAM
PASCASARJANA
UNIVERITAS
INDONESIA TIMUR
MAKASSAR
2011
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ............................................................................................ i
PRAKATA . ............................................................................................................... iii
DAFTAR ISI ........................................................................................................ iv
ABSTRAK ............................................................................................................... viii
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah ...........................................................
1
B.
Rumusan
Masalah .....................................................................
8
C.
Tujuan
Penelitian ....................................................................... 9
D.
Manfaat
Penelitian ............................................................................ 9
BAB
II TINJAUAN
PUSTAKA
A. Konsep Kinerja .................................................................................. 11
B. Pengukuran Kinerja Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah........... 13
C. Kedudukan dan Fungsi Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah 20
D. Konsep Pemerintahan Daerah....................................................... 24
E. Kerangka Pikir ................................................................................... 26
BAB
III METODOLOGI PENELITIAN
A.
Jenis
dan Desain Penelitian.......................................................... 32
B.
Waktu dan Lokasi Penelitian......................................................... 32
C.
Populasi
dan Sampel...................................................................... 33
D.
Pengumpulan
dan Data Analisis.................................................. 34
E.
Defenisi
Operasional....................................................................... 35
BAB
IV HASIL
PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Arah Kebijaksanaan
Pembangunan Kabupaten Fak-Fak......... 38
B. Fungsi, Tugas dan
Wewenang DPRD Kabupaten Fak-Fak.......... 53
C. Karakteristik Responden ................................................................. 68
D. Pembahasan Hasil
Penelitian . ..................................................... 76
E. Faktor-Faktor Berpengaruh
Terhdap Pelaksanaan
Fungsi DPRD Kabupaten Fak-Fak ................................................ 91
BAB
V KESIMPULAN
DAN SARAN
A. Kesimpulan..................................................................................... 113
B. Saran................................................................................................ 114
DAFTAR
PUSTAKA
0 komentar:
Posting Komentar